Rabu, 17 September 2014

CERPEN

A Story of Friendship


Nadia menutup pintu kamar mandi. Ia memutar badannya, lalu berjalan menuju tempat tidur yang berada beberapa langkah di hadapannya.
“Hai, kamu sudah bangun.” Ucap Nadia kepada seorang gadis yang terbaring di atas tempat tidur rumah sakit. Gadis itu diam, ia hanya tersenyum samar.
“Tadi Mama kamu pulang, katanya mau ngambil baju ganti buat kamu. Ya, paling bentar lagi balik, soalnya sudah sejak tadi.” Ucap Nadia sambil duduk di atas kursi yang berada di samping tempat tidur.
“Oh ya, laper nggak? Kalau laper, sarapan dulu.” Nadia mengambil semangkuk bubur yang berada di atas meja. Gadis itu masih diam, ia memandang sayu ke arah semangkuk bubur tadi, kemudian ia memandang Nadia dengan sayu.
Nadia menarik napas panjang. “Cuma sarapan Ya, kalau habis sarapan kamu nggak mau minum obat juga nggak papa.” Ucap Nadia memandang gadis di hadapannya dengan lekat. Gadis di hadapannya itu tak merespon.
“Ya sudah deh, kalau nggak mau.” Ucap Nadia sambil mengembalikan semangkuk bubur tadi ke tempat semula.
“Kita jalan-jalan aja yuk.” Ucap Nadia mengajak gadis di hadapannya. Gadis itu menatap Nadia dengan sayu. Dua bola matanya seolah mengatakan sesuatu. Ia kemudian memandang ke arah kursi roda yang berada di sudut kamar ini, ia memandang kursi roda itu dengan tatapan penuh kebencian. Gadis itu kembali memandang Nadia dengan pandangan seolah merasa sangat bersalah.
Nadia menatap kedua bola mata gadis di hadapannya itu. “Saat kamu mulai jalan dengan tertatih, aku selalu siap buat memapah kamu. Dan disaat kamu harus duduk di kursi roda, aku juga akan selalu siap mengantar kamu kemanapun kamu ingin. Kamu masih merasa nggak enak sama aku? Merasa ngrepotin? Apa dalam persahabatan itu ada rasa hutang budi? Apa dalam persahabatan itu ada perasaan sungkan? Buat aku, nggak akan pernah ada kata “ngrepotin” dalam persahabatan yang aku jalin sama sahabat-sahabat aku, termasuk kamu Ya.” Nadia menelan ludahnya.
Mereka berdua diam. Diam beberapa menit. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Saling menatap kosong ke arah depan mereka.
“Apa masih ada hari lagi buat aku?” Tanya gadis tadi kepada Nadia. “Apa masih ada hari buat kumpul bareng teman-teman, buat ngebanggain Papa sama Mama. Buat terus sama kamu Nad?” Sambungnya.
“Masih ada. Dan akan selalu ada.” Ucap Nadia optimis, ia tersenyum manis pada gadis berwajah oriental tersebut.
“Apa masih ada natal tahun depan? Apa kita masih bisa menghias pohon natal bareng-bareng? Apa kita masih bisa ngajar anak-anak yang ngaji di Masjid? Apa kita masih bisa ngajari mereka matematika dan bahasa inggris?”
“Gimana…” Gadis bermata sipit itu menelan ludahnya. “Gimana kalau aku pergi duluan? Apa Tuhan akan mempertemukan aku sama kamu besok?”
Duggg!!! Mendengar pertanyaan gadis itu, seolah ada yang menghantam jantung Nadia dengan sangat keras.
Nadia membungkukkan tubuhnya. Ia dekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Ia elus dahinya dengan lembut.
“Aku atau kamu yang pergi duluan, kita akan ketemu lagi kok besok.” Ucap Nadia lembut.
“Apa mungkin, Tuhan akan mempertemukan kita berdua?”
“Natalia. Nggak ada Tuhan yang jahat. Tuhan kita semua baik. Aku yakin, besok, kalau kita sudah sama-sama pergi dari dunia ini. Yesus dan Allah akan mempertemukan kita. Mereka, akan bekerja sama, untuk mempertemukan kita kembali. Karena, Mereka sayang kita, seperti kita menyayangi Mereka.” Ucap Nadia dengan perasaan yang penuh keperihan.
Gadis yang dipanggil “Natalia” tadi mengangkat tubuhnya, mencoba untuk duduk. Ia menutup matanya. Setetes air bening mengalir dari balik kelopak matanya yang tertutup.
“Hei, jangan nangis dong. Sudah berapa kali aku bilang? Jangan pernah nangis gara-gara penyakit kamu, itu artinya, kamu membiarkan kamu kalah oleh penyakit ini.” Nadia mengusap kedua pipi Natalia dengan lembut, menghapus air mata yang membasahi pipi gadis di hadapannya.
Natalia diam, mencoba mengatur napasnya. Mencoba untuk tak menangis di hadapan Nadia. Ia memandang kosong ke arah lukisan yang berada di kamar rumah sakit.
Nadia memandang Natalia dengan perasaan perih. Seolah ia tahu apa yang saat ini tengah dirasakan dan dipikirkan Lia.
“Lia. Kalau kamu benar-benar nggak kuat, nangis saja! Nggak papa kok kalau kamu mau nangis.”
Natalia memejamkan matanya. Tangisnya pecah. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Tanpa berpikir, Nadia segera memeluk gadis bermata sipit itu.
“Nangis yang puas, kalau itu bisa bikin kamu lega.” Ucap Nadia mencoba menahan air matanya yang telah memenuhi kelopak matanya agar tak terjatuh membasahi pipinya.
“A.. A… Ku, say..sayang kamu. Kenapa sih saat orang kaya kamu datang di kehidupan aku, justru aku yang akan pergi dari kehidupan kamu?” Natalia tak sanggup mengontrol emosi jiwanya. Air matanya menetes membasahi bagian belakang jilbab putih yang Nadia kenakan.
“Aku juga sayang sama kamu. Kalau penebusan dosa itu ada, kamu nggak perlu khawatir. Karena aku yakin Tuhan akan membiarkan kamu masuk ke dalam surga-Nya. Dan meskipun kita nggak bisa ketemu lagi. Aku yakin kamu nggak akan merasa sedih, dan mungkin kamu sudah lupa sama aku. Karena di surga itu hanya ada kebahagiaan Ya. Dan kamu akan terus merasa bahagia saat kamu berada di sana, meskipun sekarang kamu merasa takut dan sedih kalau kita nggak bisa ketemu lagi, tapi di surga nanti, kamu akan melupakan kesedihan itu.” Ucap Nadia sambil mengusap air matanya yang telah berhasil membasahi kedua pipinya.
Dear Beloved Best Friend
Josephine Natalia Veronica
Sesungguhnya, hanya ada satu Tuhan di sepanjang masa. Hanya ada satu agama yang paling diakui Tuhan di kehidupan ini. Dan hanya ada satu hal yang dapat mempersatukan perbedaan: Cinta di antara dua atau lebih orang yang saling menyayangi dan mengasihi.
Sampai kapanpun dan apapun yang dikatakan orang-orang tentang persahabatan ini. Aku tak akan pernah memperdulikannya, dan kamu Natalia, ku harap, kamu juga nggak akan pernah memperdulikan itu.
Karena matahari dan bumi berbeda, namun mereka saling menaungi dan melengkapi. Karena api dan tanah berbeda, namun api itu tak akan ada bila sesuatu yang berada di dalam tanah tak ada.
Meski Tuhanku satu dan Tuhanmu tiga. Meski aku hanya mengakui satu Tuhan dari Tuhanmu. Namun aku dan kamu seperti matahari dan bumi. Seperti tanah dan api.
Apapun yang orang-orang katakan tentang persahabatan ini. Aku tak peduli. Dan ku harap kamu juga tak peduli. Sampai kapanpun dan bagaimanapun juga. Kamu dan aku, tetap sahabat. Dan kamu, sebagai sahabat terbaikku. Sekalipun Tuhanmu dan Tuhanku memikirkan sesuatu tentang persahabatan kita, aku tak peduli!
Dan bila esok aku tak mampu masuk surga, dan kamu telah berada di dalamnya. Sampaikan kata maafku untuk Tuhan, bila ternyata aku memilih Tuhan yang salah. Namun bila aku yang masuk surga dan Tuhan tak mengizinkanmu, aku akan berkata pada Tuhan, “Tolong ringankan siksanya Tuhan. Karena aku menyayanginya. Bukankah Kau meyayangiku? Sebagaimana Kau menyayangi Muhammad? Bukankah Kau meringankan siksa orang yang paling ia cintai?” Dan aku yakin, Tuhan akan mengabulkan permohonanku. Karena kamu, tak pernah membuatku untuk meninggalkan dan melupakan Tuhanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar