A Story of Friendship
Nadia
menutup pintu kamar mandi. Ia memutar badannya, lalu berjalan menuju
tempat tidur yang berada beberapa langkah di hadapannya.
“Hai,
kamu sudah bangun.” Ucap Nadia kepada seorang gadis yang terbaring di
atas tempat tidur rumah sakit. Gadis itu diam, ia hanya tersenyum samar.
“Tadi
Mama kamu pulang, katanya mau ngambil baju ganti buat kamu. Ya, paling
bentar lagi balik, soalnya sudah sejak tadi.” Ucap Nadia sambil duduk di
atas kursi yang berada di samping tempat tidur.
“Oh
ya, laper nggak? Kalau laper, sarapan dulu.” Nadia mengambil semangkuk
bubur yang berada di atas meja. Gadis itu masih diam, ia memandang sayu
ke arah semangkuk bubur tadi, kemudian ia memandang Nadia dengan sayu.
Nadia
menarik napas panjang. “Cuma sarapan Ya, kalau habis sarapan kamu nggak
mau minum obat juga nggak papa.” Ucap Nadia memandang gadis di
hadapannya dengan lekat. Gadis di hadapannya itu tak merespon.
“Ya sudah deh, kalau nggak mau.” Ucap Nadia sambil mengembalikan semangkuk bubur tadi ke tempat semula.
“Kita
jalan-jalan aja yuk.” Ucap Nadia mengajak gadis di hadapannya. Gadis
itu menatap Nadia dengan sayu. Dua bola matanya seolah mengatakan
sesuatu. Ia kemudian memandang ke arah kursi roda yang berada di sudut
kamar ini, ia memandang kursi roda itu dengan tatapan penuh kebencian.
Gadis itu kembali memandang Nadia dengan pandangan seolah merasa sangat
bersalah.
Nadia menatap kedua
bola mata gadis di hadapannya itu. “Saat kamu mulai jalan dengan
tertatih, aku selalu siap buat memapah kamu. Dan disaat kamu harus duduk
di kursi roda, aku juga akan selalu siap mengantar kamu kemanapun kamu
ingin. Kamu masih merasa nggak enak sama aku? Merasa ngrepotin? Apa
dalam persahabatan itu ada rasa hutang budi? Apa dalam persahabatan itu
ada perasaan sungkan? Buat aku, nggak akan pernah ada kata “ngrepotin”
dalam persahabatan yang aku jalin sama sahabat-sahabat aku, termasuk
kamu Ya.” Nadia menelan ludahnya.
Mereka berdua diam. Diam beberapa menit. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Saling menatap kosong ke arah depan mereka.
“Apa
masih ada hari lagi buat aku?” Tanya gadis tadi kepada Nadia. “Apa
masih ada hari buat kumpul bareng teman-teman, buat ngebanggain Papa
sama Mama. Buat terus sama kamu Nad?” Sambungnya.
“Masih ada. Dan akan selalu ada.” Ucap Nadia optimis, ia tersenyum manis pada gadis berwajah oriental tersebut.
“Apa
masih ada natal tahun depan? Apa kita masih bisa menghias pohon natal
bareng-bareng? Apa kita masih bisa ngajar anak-anak yang ngaji di
Masjid? Apa kita masih bisa ngajari mereka matematika dan bahasa
inggris?”
“Gimana…” Gadis
bermata sipit itu menelan ludahnya. “Gimana kalau aku pergi duluan? Apa
Tuhan akan mempertemukan aku sama kamu besok?”
Duggg!!! Mendengar pertanyaan gadis itu, seolah ada yang menghantam jantung Nadia dengan sangat keras.
Nadia membungkukkan tubuhnya. Ia dekatkan wajahnya dengan wajah gadis itu. Ia elus dahinya dengan lembut.
“Aku atau kamu yang pergi duluan, kita akan ketemu lagi kok besok.” Ucap Nadia lembut.
“Apa mungkin, Tuhan akan mempertemukan kita berdua?”
“Natalia.
Nggak ada Tuhan yang jahat. Tuhan kita semua baik. Aku yakin, besok,
kalau kita sudah sama-sama pergi dari dunia ini. Yesus dan Allah akan
mempertemukan kita. Mereka, akan bekerja sama, untuk mempertemukan kita
kembali. Karena, Mereka sayang kita, seperti kita menyayangi Mereka.”
Ucap Nadia dengan perasaan yang penuh keperihan.
Gadis
yang dipanggil “Natalia” tadi mengangkat tubuhnya, mencoba untuk duduk.
Ia menutup matanya. Setetes air bening mengalir dari balik kelopak
matanya yang tertutup.
“Hei,
jangan nangis dong. Sudah berapa kali aku bilang? Jangan pernah nangis
gara-gara penyakit kamu, itu artinya, kamu membiarkan kamu kalah oleh
penyakit ini.” Nadia mengusap kedua pipi Natalia dengan lembut,
menghapus air mata yang membasahi pipi gadis di hadapannya.
Natalia
diam, mencoba mengatur napasnya. Mencoba untuk tak menangis di hadapan
Nadia. Ia memandang kosong ke arah lukisan yang berada di kamar rumah
sakit.
Nadia memandang Natalia dengan perasaan perih. Seolah ia tahu apa yang saat ini tengah dirasakan dan dipikirkan Lia.
“Lia. Kalau kamu benar-benar nggak kuat, nangis saja! Nggak papa kok kalau kamu mau nangis.”
Natalia
memejamkan matanya. Tangisnya pecah. Ia menutup mulutnya dengan kedua
tangannya. Tanpa berpikir, Nadia segera memeluk gadis bermata sipit itu.
“Nangis
yang puas, kalau itu bisa bikin kamu lega.” Ucap Nadia mencoba menahan
air matanya yang telah memenuhi kelopak matanya agar tak terjatuh
membasahi pipinya.
“A.. A… Ku,
say..sayang kamu. Kenapa sih saat orang kaya kamu datang di kehidupan
aku, justru aku yang akan pergi dari kehidupan kamu?” Natalia tak
sanggup mengontrol emosi jiwanya. Air matanya menetes membasahi bagian
belakang jilbab putih yang Nadia kenakan.
“Aku
juga sayang sama kamu. Kalau penebusan dosa itu ada, kamu nggak perlu
khawatir. Karena aku yakin Tuhan akan membiarkan kamu masuk ke dalam
surga-Nya. Dan meskipun kita nggak bisa ketemu lagi. Aku yakin kamu
nggak akan merasa sedih, dan mungkin kamu sudah lupa sama aku. Karena di
surga itu hanya ada kebahagiaan Ya. Dan kamu akan terus merasa bahagia
saat kamu berada di sana, meskipun sekarang kamu merasa takut dan sedih
kalau kita nggak bisa ketemu lagi, tapi di surga nanti, kamu akan
melupakan kesedihan itu.” Ucap Nadia sambil mengusap air matanya yang
telah berhasil membasahi kedua pipinya.
Dear Beloved Best Friend
Josephine Natalia Veronica
Sesungguhnya,
hanya ada satu Tuhan di sepanjang masa. Hanya ada satu agama yang
paling diakui Tuhan di kehidupan ini. Dan hanya ada satu hal yang dapat
mempersatukan perbedaan: Cinta di antara dua atau lebih orang yang
saling menyayangi dan mengasihi.
Sampai
kapanpun dan apapun yang dikatakan orang-orang tentang persahabatan
ini. Aku tak akan pernah memperdulikannya, dan kamu Natalia, ku harap,
kamu juga nggak akan pernah memperdulikan itu.
Karena
matahari dan bumi berbeda, namun mereka saling menaungi dan melengkapi.
Karena api dan tanah berbeda, namun api itu tak akan ada bila sesuatu
yang berada di dalam tanah tak ada.
Meski
Tuhanku satu dan Tuhanmu tiga. Meski aku hanya mengakui satu Tuhan dari
Tuhanmu. Namun aku dan kamu seperti matahari dan bumi. Seperti tanah
dan api.
Apapun yang
orang-orang katakan tentang persahabatan ini. Aku tak peduli. Dan ku
harap kamu juga tak peduli. Sampai kapanpun dan bagaimanapun juga. Kamu
dan aku, tetap sahabat. Dan kamu, sebagai sahabat terbaikku. Sekalipun
Tuhanmu dan Tuhanku memikirkan sesuatu tentang persahabatan kita, aku
tak peduli!
Dan bila esok aku
tak mampu masuk surga, dan kamu telah berada di dalamnya. Sampaikan kata
maafku untuk Tuhan, bila ternyata aku memilih Tuhan yang salah. Namun
bila aku yang masuk surga dan Tuhan tak mengizinkanmu, aku akan berkata
pada Tuhan, “Tolong ringankan siksanya Tuhan. Karena aku menyayanginya.
Bukankah Kau meyayangiku? Sebagaimana Kau menyayangi Muhammad? Bukankah
Kau meringankan siksa orang yang paling ia cintai?” Dan aku yakin, Tuhan
akan mengabulkan permohonanku. Karena kamu, tak pernah membuatku untuk
meninggalkan dan melupakan Tuhanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar